Indeks Demokrasi, Acuan Baru Pembangunan Politik Indonesia

Mengenal Prof Sarif Hidayat, Dosen Pascasarjana Unas Penerima Satya Lencana Wira Karya

0 420

 

Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A
Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A

Presiden Republik Indonesia, pada tanggal 25 Agustus 2020 memberikan anugerah Tanda Kehormatan Satya Lencana Wira Karya kepada dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, yang juga peneliti Ahli Utama pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.

Penerima anugerah tersebut adalah Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A. Tanda kehormatan ini, diberikan kepada Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A. atas peran sertanya secara aktif dalam menginisiasi penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) berbasis 34 Provinsi.

Ya, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) saat ini telah menjadi sebuah model pengukuran yang dibangun berdasarkan latar belakang perkembangan sosial politik Indonesia.

IDI telah menjadi instrumen untuk mengukur realitas empirik demokrasi Indonesia, dimana dan pada saat yang bersamaan juga dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam perencanaan pembangunan politik di Indonesia.

IDI adalah perangkat yang mengkuantifikasi semua aspek pengukuran, kemudian menerjemahkannya dalam bentuk prosentase. Ada tiga aspek yang diukur oleh IDI, yakni aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik, dan aspek kelembagaan demokrasi. Tiga aspek ini dijabarkan dalam 11 variabel dan diterjemahkan lebih detail pada 28 indikator.

Data IDI inilah yang kemudian, dimanfaatkan sebagai rujukan pembangunan politik oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sebagai rujukan peningkatan kapasitas lembaga dan pelaku demokrasi di daerah, sejak tahun 2009. Saat ini, IDI telah diakui sebagai Data Nasional dan dipublikasi secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun.

Melalui sambungan telepon, Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A. mengatakan bahwa awal keterlibatan dalam penyusunan IDI, dimulai ketika dirinya diminta oleh Bappenas. Waktu itu tahun 2007.

Prof. Dr. Sarif Hidayat, M.A. diminta untuk menyusun konsep Indeks Demokrasi Indonesia. Pada saat itu, Prof Sarif ditunjuk sebagai tim ahli dalam penyusunan IDI bersama dengan tiga anggota lainnya.

“Sebagai tim ahli, kami bertugas menyusun konsep dasar IDI. Di tahun 2008 konsep ini diuji coba dan kemudian setelah itu dilakukan perbaikan. Selanjutnya diujicoba lagi di tahun 2009 dan setelah itu konsep tersebut sudah dianggap layak dan diterima. Sehingga IDI sudah layak diakui sebagai rujukan data nasional,” ujarnya saat dihubungi tim humas Unas, pada Sabtu, (29/08/2020) di Jakarta.

Ia menambahkan, IDI telah dijadikan sebagai acuan dalam menyusun rencana pembangunan politik secara nasional dan daerah seluruh Indonesia. Konsep IDI sendiri berdasarkan data dari 34 provinsi, sehingga juga dianggap sebagai rujukan untuk daerah.

“Setelah diakui sebagai data nasional, dengan demikian IDI sudah harus disusun dan dipublikasi setiap tahun dan dibiayai oleh APBN. Selanjutnya BPS ditunjuk sebagai lembaga yang mengumpulkan data sekaligus mengolah data dan mempublikasikannya setiap tahun. Sementara, penanggung jawab IDI sudah beralih dari Bappenas ke Menkopulhukam,” kata Prof Sarif.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Sarif juga menuturkan bahwa motivasinya dalam menyusun IDI adalah untuk pengembangan bidang ilmu yang ia tekuni, yakni persoalan demokrasi dan persoalan pengembangan penguatan desentralisasi atau demokratisasi di tingkat lokal.

Kemudian juga, sebagai kontribusi dalam rangka mempercepat proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia semenjak awal reformasi.

Menurutnya, transisi demokrasi saat ini belum memiliki ukuran yang jelas. Terutama untuk melihat bagaimana perkembangan transisi itu sendiri.

Ukuran tersebut, lanjutnya, sangat penting agar dapat mengetahui apakah demokrasi Indonesia berjalan maju atau jalan di tempat, atau justru mundur. “Oleh karena itu, keinginan menyusun IDI adalah bagian dari konsen dan kepentingan untuk bisa mengetahui kinerja demokrasi,” jelasnya.

Satya Lencana Wira Karya adalah sebuah tanda penghargaan yang dikeluarkan dan diberikan kepada warga negara Indonesia yang telah sangat berjasa dan berbakti kepada bangsa dan negara. Penghargaan tersebut dapat diberikan secara anumerta.

“Langkah selanjutnya kami sebagai tim ahli adalah terus mengawal IDI, dan tentunya ini membuat kami harus lebih serius untuk mengawal ini secara betul sehingga dapat memberikan kemanfaatan bagi bangsa dan negara. Terutama PR penting ke depan adalah bagaimana agar IDI ini tidak hanya berhenti sampai pada bentuk data yang diumumkan sebagai kinerja demokrasi tiap tahun. Tetapi juga harus sampai pada tingkat pemanfaatan penggunaannya,” ungkap Prof Sarif yang juga anggota Board pada SMERU Research Institute.

Di akhir wawancaranya, Prof Sarif mengungkapkan harapannya untuk para pendidik dan juga mahasiswa. “Setiap pendidik, pada khususnya, punya peluang besar mendapatkan wirakarya. Sejauh para pendidik kritis dan kreatif. Artinya, tetap kritis terhadap ilmu-ilmu yang dia tekuni dan kemudian inovatif. Kemudian kepada para mahasiswa juga harus kreatif dan inovatif untuk mengaplikasikan ilmu yang ditekuni untuk kemanfaatan,” tutupnya.(*DMS)

info kuliah, klik https://www.unas.ac.id/

Leave A Reply

Your email address will not be published.