Uswah Politik Dalam Revolusi Mental Pancasila Kita (2)

0 262

Dalam riset yang dilakukan Ian Zulfikar dari FISIP UNAS dan Ma’mun Murod Al-Barbasy’, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FJSIP UMJ disebutkan bahwa nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan sejenisnya mulai menghilang.

Gantinya, saat ini mulai menguat perilaku permisif, ambisi, kerakusan, dan pola hidup yang pragmatis, memandang apapun akan dinilai baik ketika dapat menguntungkan diri (dan bahkan) kelompoknya.

Hasil kajian kedua peneliti yang telah diterbitkan di dalam Jurnal Populis Vol. 4, No 8, Desember 2019 oleh Lembaga Penerbitan Unas ini, juga menyebutkan bahwa dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, sudah berpuluh anggota DPR, DPRD, menteri, gubernur, bupati/walikota dijebloskan ke penjara gara-gara korupsi, kolusi, suap, ataupun pemerasan.

Jumlah pelaku “kejahatan publik” ini bukan berkurang, tapi justru semakin bertambah dan jangkauan wilayahnya pun semakin melebar dan massif merembet ke tingkat desa seiring dengan adanya dana desa yang jumlahnya cukup fantastis.

Mengapa kecenderungan abuse of power semakin meningkat?

Ada beberapa argumentasi yang bisa menjelaskan. Pertama, bobrok dan korupnya sistem politik yang ada saat ini, yang tergambar dari produk perundang-undangan dalam bidang politik, yang secara implisit maupun eksplisit mendukung tumbuh suburnya moralitas politik yang ambigu.

Misalnya pemilihan serba langsung yang secara moralitas telah mengubah mentalitas masyarakat menjadi pragmatis. Belum lagi soal suara terbanyak dalam pemilu legislatif juga telah secara masif ikut berperan atas rusaknya moralitas politik bangsa.

Bayangkan, pemilu dengan suara terbanyak, maka siapapun kandidatnya asal mempunyai cukup modal (capital) materi, lebih mempunyai kemudahaan untuk mendapatkan kekuasaan politik.

Bandingkan dengan aktivis partai yang day to day mengurus partai. Meskipun ditempatkan di nomor 1, namun karena yang bersangkutan tidak mernpunyai cukup modal materi, praktis nomor urut l yang dimilikinya tak akan terlalu berarti.

Terhadap bobrok dan korupnya sistem politik ini, tak terlihat sedikit pun
adanya political will dari elit politik yang berkuasa untuk mengubahnya. Padahal, rumus suatu sistem politik itu dapat dikatakan baik atau buruk sederbana saja. Yaitu, dengan melihat produk atau output dari sistem politik tersebut.

Kalau outputnya baik, maka hampir pasti sistem politiknya baik. Sebaliknya, kalau outputnya jelek, hampir pasti sistem politiknya pun buruk. Dan, produk atau output politik di Indonesia saat ini lebih dan bahkan sangat kuat menggambarkan buruknya sistem politik.

Kedua, akibat buruknya sistem politik, praktek politik yang terjadi pun
berbiaya sangat mahal. Karena sangat mahal, sementara manusia yang oleh
Aristoteles disebut sebagai zoon politicon, maka berbagai carapun digunakan untuk menggapai kekuasaan tersebut. Termasuk, dengan cara merampok atau menjarah kekayaan negara lewat “perselingkuhan” dengan pihak lain.

Ketiga, politik hanya semata dimaknai sebagai perebutan kekuasaan. Kekuasaan politik dianggap segala-galanya. Karena segala-galanya, maka siapa pun dan dengan cara apapun berusaha meraih kekuasaan tersebut.

Dengan pemaknaan politik seperti ini, maka mereka tidak peduli lagi akan pentingnya moralitas dalam  berpolitik.

Keempat, bobroknya mentalitas birokrasi kita dari mulai tingkatan paling atas sampai birokrasi pada tingkat paling bawah. Bobroknya birokrasi kita juga impact dari abuse of power.

Birokrasi rasional sebagaimana digambarkan oleh Weber, seperti jauh panggang dari api. Birokrasi kita cenderung gemuk dan irasional. Belum lagi birokrasi kita juga selalu diseret-seret ke wilayah politik.

Uswah Politik

Terjadinya abuse of power tentu aneh bila dikaitkan dengan Revolusi Mental yang saat ini digaungkan dan digalakkan oleh Presiden Jokowi. Apalagi kalau dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. Karena, bicara Revolusi Mental berarti bicara juga tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Revolusi Mental ini diorientasikan agar nilai-nilai Pancasila bisa menjiwai dan mendorong perubahan di bidang material dan politik yang sejalan dengan nilai-nilai das sollen dari Pancasila.

Revolusi mental menghendaki adanya perubahan mendasar yang melibatkan
revolusi material, mental kultural, dan political. Revolusi (basis) material diarahkan untuk menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandaskan usaha tolong menolong (gotong royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Revolusi mental-kultural diarahkan untuk menciptakan masyarakat
religius yang berprikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas dari berhala materialisme-hedonisme, serta sanggup menjalin persatuan dengan semangat pelayanan.

Sementara revolusi political, diarahkan untuk menciptakan agen
perubahan dalam bentuk integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi
permusyawaratan yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan).

Revolusi politik ini bisa diwujudkan dengan pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehiduan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian dan keadilan.

Tekait gerakan revolusi mental, tak hanya berhenti pada perubahan pola
pikir dan kejiwaan saja. Tetapi juga pada kebiasaan dan karakter yang menyatu antara pikiran, sikap dan tindakan sebagai suatu integritas. Dasar dan haluan revolusi mental ini adalah nilai Pancasila, terutama yang terdapat dalam sila pertama, kedua, dan ketiga.

Dalam ketiga sila tersebut dinyatakan bahwa setiap manusia diciptakan oleh cinta kasih Allah, sehingga semua manusia sederajat yang melahirkan semangat mental egalitarianism.

Setiap pribadi dimuliakan oleh Tuhan dengan bawaan bak asasi yang tidak bisa dirampas, hak milik, kehormatan­kemerdekaan dengan kedudukan yang sama di badapan bukum. Fokus revolusi mental Pancasila adalah mentalitas kemandirian, mentalitas gotong royong dan mentalitas pelayanan.

Ketiga disebut tricita revolusi mental. Akhir dari semuanya, yang paling penting dalam melakukan Revolusi Mental adalah perlunya keteladanan (uswah) politik. Harus diakui, yang tidak atau setidaknya sangat minim dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara adalah uswah.

Minimnya uswah, tidak saja hinggap di kalangan para politisi, tapi juga
kalangan agamawan. Saat ini sulit menemukan keteladanan di kalangan para politisi, termasuk juga uswah di kalangan elit agamawan yang sanggup memberikan banyak keteladanan dalam beragama, keteladanan dalam hal integritas moral, yang termasuk di dalamnya adalah keteladanan dalam menjalin relasi dengan kekuasaan.

Dalam konteks ini, sudah saatnya perlu dilakukannya penegasan kembali Pancasila merupakan darul-ahdi wa al-syahadah.

Darul-ahdi wa al-syahadah merupakan rumusan yang ditawarkan melalui Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015. Dalam rumusan baru tersebut, Muhammadiyah menyebut Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, yaitu  negara konsensus dan negara kesaksian.

Penyebutan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah merupakan penegasan untuk memperkuat posisi Pancasila sebagai ideologi negara.

Moralitas politik yang ambigu bukan hanya disebabkan oleh para elite politik, tetapi juga masyarakat yang memanfaatkan kemudahan & keuntungan dari perilaku amoralnya elite politik.

Karenanya, dalam perbaikan perilaku diperlukan revolusi mental yang dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila dengan cara meningkatkan keteladan (uswah) politik. Karena uswah berarti integritas moral dalam menjalani relasi dan kekuasaan.

Melalui penegasan bahwa Pancasila merupakan dar al-ahdi wa al­syahadah, Muhammadiyah ingin mengajak seluruh elemen bangsa untuk berpijak pada prinsip dasar bahwa negara ini milik kita bersama, yang harus dibangun,
diselamatkan, dan tak boleh dirusak.(*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.